Kode Etik Jurnalistik -opini gue-

In injury time..

Lagi lagi nulis postingan tema buat LBI di detik detik akhir..
Bukan karena ga sempat, bukan karena malas, tapi karena temanya aneh.
Ya, aneh kalo kata gue sih.
Bayangpun, temanya “Kode Etik Jurnalistik”.
Fhat The Wuck???

Ok, gue bercita cita jadi wartawan perang sejak kecil (dan gue tau kalo si nyonyah menentang habis habisan cita cita ini), gue bisa bikin tulisan atau laporan atau liputan atau apalah itu namanya.
Tapi, untuk mengulas KEJ ini, blahhh.. sama sekali gue ga ada ide.
Seminggu gue baca sana sini, cari ide, mengembangkan opini, bahkan sampe tanya ke temen gue yang kuliah di jurusan komunikasi, dan ternyata dia ga tau tentang KEJ (dan ternyata juga, kesalahan besar tanya KEJ ke mahasiswa jurusan komunikasi)

Mentok, akhirnya gue berguru pada guru semua umat onliners.
Bukan google, google itu mbah nya onliners, tapi berguru pada wikipedia..

Apa itu kode etik jurnalistik?
Kalo menurut gue pribadi (setelah seminggu semedi), KEJ ini itu acuan, aturan, yang menaungi hak maupun kewajiban para peliput (ga cuman wartawan) atau orang yang akan mendistribusikan berita.
Ibaratnya, ini itu seperti juklak atau rundown nya sesuatu.
Lantas apa isinya KEJ itu?
Well, kalo elo pengen tau, gugling aja, banyak kok di internet..



Lantas apa yang mau gue bahas sekarang?
Gue mau bahas tentang poin yang ada di KEJ.

Pertama, pasal 1, yang bunyinya Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.


Dari poin di atas, opini gue, seorang peliput, itu harus mengkedepankan profesionalisme dalam bekerja, maksudnya, dalam hal peliputan, mereka dituntut untuk benar benar obyektif.
Karena gini guys, kadang, ada orang yang meliput sesuatu, gunanya untuk menjatuhkan pihak tertentu.
Misalnya, dalam kampanye pemilu pasti terdapat beberapa hal yang kurang pas dengan prosedur, nah itu bisa menjadi sasaran empuk bagi pemburu berita bayaran (maaf, agak kasar nyebutnya) yang dibayar atau disewa oleh oknum tertentu untuk meliput hal tersebut dan di-buzz ke media dengan tujuan untuk merendahkan atau menunjukan kekurangan pihak yang melakukan kesalahan tersebut.
Ngerti maksud gue?
Simpelnya gini, berita dibuat untuk menjatuhkan pihak tertentu.

Kedua, pasal 2, begini bunyinya “Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”.


Cara yang profesional itu cara yang gimana?
Berdasarkan Wikipedia (iye, ga kreatif kan, kan udah gue jelasin di atas tadi), profesional itu meliputi:
      1. menunjukan identitas diri pada narasumber
      2. menghormati hak privasi
      3. tidak menyuap
      4. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya
      5. rekayasa pengambilan gambar dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi keterangan tentang sumber dan ditampilakn secara berimbang
      6. menghoramati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara
      7. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri
      8. penggunaan cara cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik

Nah, itu poin poin dari wikipedia..
Mana ya yang diulas?
Ok, gue ulas nomer 1 dulu, menunjukkan identitas diri pada narasumber.
Jelas, ini merupakan hal penting, peliput musti punya kartu pers, atau semacamnya.
Tapi, gue mikir deh, mungkin ada kalanya, para peliput itu ga sempat (karena ga sempat, bukan sengaja ga menunjukkan) ID cardnya karena situasi yang genting.
Misal, gue lagi ngeliput perang, gue berjalan di perkampungan, lagi observasi medan, nah tiba tiba ada suara tembakan. Otomatis gue langsung mulai merekam (kalo gue kameramen) tanap bilang dulu “halo, selamat pagi, saya wartawan, saya mau meliput suara tembakan yang terjadi beberapa detik lalu, ini ID card saya” gitu kan.

Ok, lanjut ke poin nomer 2, menghormati hak privasi.
Langsung contoh soal, misal gue lagi ngeliput perang, terus gue berkesempatan mewawancarai pemimpin kaum pemberontak, gue bakal bertindak netral, gue bukan orang yang bertikai, gue seorang wartawan yang meliput berita, jadi gue ga bakal nge-share lokasi bunker di mana pemimpin itu bersembunyi, dan gue juga ga akan menanyakan hal hal yang sensitif dalam perang, contohnya, kapan anda melakukan serangan lanjutan, persenjataan apa saja yang anda miliki dan sebagainya. Itu bukan porsi gue, dan itu privasi mereka, gue paham itu.

Dan ini nih, gue pengen bahas tentang poin ke 6 dari pasal 2 ini..
menghoramati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara”
Wow..
Suka gue sama yang ini.
Ada berita tentang pemerkosaan, bocah kecil di bawah umur diperkosa sama seseorang yang masih ada ikatan keluarga.
Gue suka cara penyajiannya, kota asal dia disebutkan, tapi kecamatan dan identitasnya ga di-publish.
Jelas, ini penting, anak yang diperkosa itu masih memiliki hak untuk melanjutkan hidup dengan baik kan, nah kalo misal semua berita dipublish jelas, dan dilempar ke media, wah, bisa jadi berabe itu.
Yang jahat bukan cuma si pemerkosa yang sudah merusak keperawanan si bocah, tapi juga si peliput dan media yang nge-publish, karena telah merusak masa depan si korban.

Udah, gitu aja udaian singkat gue.
Sebenarnya masih banyak hal yang mau gue tulis, tapi apa daya, waktunya udah mepet nih.
Sebelum jam 12 musti diposting.
Hehehe..

Oh ya, gue ngerasain aneh, dalam seminggu ini gue buntu sama tema, tapi ketika udah ngadepin layar sama mencet keyboard, malah banyak banget yang mau gue share tentang tema ini.
Begitu menggebu-gebu..
Tapi, lanjutnya mungkin gue terusin lain waktu, sementara dicukupkan segini dulu..

hastalavista..

Newer Post Older Post