Baktiku Padamu

Sejuta, dua juta atau bahkan lima juta di akhir pekan.
Itu uang jajanku,yang kuperoleh, sendiri.

"Ini, tiga juta rupiah, terimakasih ya, om anton puas sama kamu"
"Ya om, sama sama"
"Minggu depan kita ke puncak ya"
"Ya, terserah om saja"

Yup, om anton lah yang telah membiayai kebutuhan ku.
Uangnya ku tukar dengan surga dunia, penawaran yang sepadan bukan.

23.45, Di depan rumah.
"Dasar anak setan, dari mana saja kau? Pergi pagi pulang malam. Tak
jelas kemana perginya"
"Sudah ku bilang, aku bekerja, ini ada sisa sejuta, buat mama"
"Dari mana uang sebanyak ini? Mencuri? Atau melacur?"
"Ah, tak penting, intinya besok ada sesuatu di meja makan.."
Cih, sudah diberi tapi masih saja protes, gumaku dalam hati.

Clik, kukunci pintu kamar.
Kutanggalkan semua kain yang melekat di tubuh ini.
Headset terpasang di telinga, lantas ku hempaskan badan ini ke ranjang.

Lantunan lagu itu mendayu di telingaku..
Hahaha, tak terdengar lagi ocehan mamaku.
Terdiam dia bermandikan rupiah.

Terimakasih mama, terimakasih atas jasamu.
Terimakasih kau pernah membawa om anton ke rumah, ketika kalian mabuk.
Kini, biarlah kugantikan jabatanmu, meneruskan perjuanganmu, di
belantika kehidupan malam..

Ah, tepat, ini lagu spesial, kutinggikan bar volumenya..
'Ini hidup wanita si kupu kupu malam, bekerja bertaruh seluruh jiwa raga'

Lomba? Buat Apa?

Kediri, kampung halaman gue, belasan tahun lalu..

Kakek: ikut mereka saja, ngger.
Gue: ga ah, ga kenal.
Kakek: *ketawa* kalo ga ikut ya ga pernah bisa kenal..

Akhirnya gue ikut anak anak di kampung itu, gue ikut mereka main, gue ikut mereka lomba.
Entah dalam rangka apa lomba itu, gue ikutin lomba lombanya, mulai dari makan kerupuk, balap kelereng sampai pukul air, tapi yang pasti, itu bukan dalam rangka 17 agustusan.

Ketika gue ikut lomba, kakek duduk di pinggir lapangan sambil ngobrol sama temannya, sesama kakek kakek.
Selesai lomba, kakek gue bilang “kalo kamu ga ikut lomba, kamu ga bisa kenal tetangga tetangga di desa, ga bisa merasakan dekatnya sama orang orang”.

Mana ada lomba yang hanya diikuti oleh satu orang?
Minimal ada dua orang yang berkompetisi.
Ada dua orang, berarti kita ga sendiri, kita ga sendiri berarti kita harus tau kemampuan kompetitor kita, untuk tau kemampuannya kita harus kenal.
Nah, kalo kita tarik kesimpulan, dengan mengikuti acara perlombaan, kita bisa mengenal satu sama lain.
Bertemu orang baru, karakter baru, kemampuan baru, semua hal baru.

Gue ingat banget peristiwa itu, jelas banget.
Walopun kakek ga ngejelasin banyak hal kenapa gue musti ikut lomba dan main bareng temen temen di desa, tapi gue rasa banyak makna serta pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa itu.

Semarang, beberapa tahun lalu, acara 17 agustusan.
Adek: aku ikut lomba ya..
Gue: ya, ikuti semuanya.
Adek: tapi nanti kalo ga menang gapapa ya?
Gue: gapapa.

Kejadian yang mirip, cuman bedanya kali ini tokohnya gue sama si adek yang paling kecil.
Ketika itu dia mau ikut lomba, semangatnya menggebu-gebu, tapi ada satu hal yang buat dia kurang maksimal di lomba itu, dia terbebani rasa pengen menang.


Kenapa sebaiknya kita ikut acara, perlombaan atau sejenisnya seperti itu?
Apa manfaatnya?
Mama gue pernah bilang “dengan ikut kompetisi, kita belajar yang namanya sportivitas”.
Yup, dalam perlombaan, kita bakal berhadapan dengan seseorang, kompetitor kita.
Dalam lomba yang sehat, pasti setiap pesertanya ingin jadi yang terbaik, jadi pemenang.
Dengan misi yang sama, pasti setiap individu tersebut bakal berjuang sepenuh hati.
Di sinilah seni sportivitas kita dilatih, tak jarang meskipun kita sudah mengerahkan segenap kemampuan, tetap saja hasilnya kurang memuaskan, tidak seperti apa yang kita harapkan.
Menang serta kalah adalah hal yang lazim kita temui dalam kompetisi.
Bangga menjadi pemenang dan tegar sebagai yang kalah, itu sportivitas.

Suatu ketika, gue tanya sama seorang teman, “ngapain lo ga ikut lombanya?”.
Dengan santai dia jawab, “ngapain ikut? Jelas jelas gue bakal kalah, ga perlu buang buang tenaga lah, lagia bayar juga lombanya”.
Sesaat gue terdia dengan jawabannya.
Secara logika, memang benar, ngapain kita memperjuangkan sesuatu yang sudah pasti hasilnya berujung pada kegagalan.
Sesuatu yang useless kan..

Memang, kalau kita mengasumsikan bahwa perlombaan itu tentang meraih kemenangan, langkah yang teman gue ambil itu sangat bijak, tapi semua berubah ketika kita rubah paradigma kita dalam mengikuti sebuah kompetisi.

Untuk apa kita ikut kompetisi?
Sedikit menyimpang dari tema, gue mau tanya, untuk apa elo nembang gebetan lo setelah sekian lama PDKT?
Untuk tau perasaannya kan?
Untuk memberitahunya bahwa rasa elo itu ada.
Nah, sekarang kita analogikan prosesi penembakan gebetan sama perlombaan.
Kita ikut lomba bukan cuman karena pengen menang, tapi ada hal lain.
Pernah berpikir sejauh apa kemampuan elo dalam melakukan suatu hal?
Pernah berpikir kalo elo itu punya kemampuan dan orang lain perlu tau tentang kemampuan elo itu?
Nah, dalam kompetisi lah elo bisa mengapresiasikan serta show kemampuan.
Kalo di luar kompetisi, acara show kemampuan ga bakal maksimal, karena elo ga punya target tertentu, dan elo juga ga punya saingan.

menang kalah bukan perkara, yang penting itu sejauh mana kamu berjuang”
Yup, it's all about the process it self.
Doesn't matter about the result, the point is, how big is your effort to take control the game.
Even though we are lose in the game, doesn't mean that we fight for nothing.

Disadari atau tidak, pasti kita dapat sesuatu yang baru dalam perlombaan.
Ambil contoh, gue ikut lomba fotografi, gue tau cara ambil gambar, tinggal arahin kamera ke obyek, terus pencet aja shutter button nya, beres.
Ketika dalam perlombaan, gue ternyata kalah, karena ilmu serta skill yang gue punya ga cukup ampuh untuk membuat juri terkesan.
Apa tenaga, waktu serta pikiran gue terbuang sia sia dalam lomba tersebut?
Sudah pasti enggak.
Emang gue kalah, tapi dalam lomba gue bisa tau, ternyata buat ngambil gambar itu bukan cuma ngarahin moncong lensa kamera ke obyek doang, tapi gue harus tau karakteristik obyek yang gue foto, bagusnya gimana penempatannya, pemilihan lensa, pencahayaan terhadap obyek, serta banyak faktor lain yang gue baru tau.
So, gue ga kalah dalam kesia-siaan bukan..

Sip..
Hal di atas itu pembukaan dari apa yang sebenarnya mau gue bahas.
Yup, gue bahas tentang esensi Liga Blogger Indonesia, di mata gue.
Ga banyak yang perlu gue babarin, kita bisa analogikan dengan cerita yang udah gue tulis di atas.
Sedikit poin aja, Liga Blogger Indonesia yang diadakan oleh @dotsemarang merupakan hal yang luar biasa bermanfaat.
Bayangpun (nulis gue kembali ke setting santai), elo tau kan blogger di Indonesia itu jumlahnya buanyak banget, entah itu blogger yang bener bener serius, blogger yang cuman nyari duit doang, blogger yang buat blog buat tugas akademik maupun pensiunan blogger.
Nah, di acara ini kita dapet kesempatan buat berkenalan, menjalin silaturahmi, serta berkompetisi dengan blogger blogger yang mungkin sebelumnya kita ga kenal.

Selain itu, dengan adanya kompetisi ini, bisa dijadikan sebagai pemacu kita untuk kembali aktif dalam nge-blog.
Hayo, siapa yang udah lama ga posting di blog? Sampe blognya lumutan gitu euy..
Hahahaha...
Untung ada acara macam ini, kalo enggak, blog itu bisa jadi tempat permukiman kumuh yang banyak gelandangannya, sakit lamanya ga diurus sama yang punya.

Keuntungan apa lagi kah yang bisa kita dapat dari acara ini?
Ehem, the ugly truth is, kita bisa numpang terkenal..
Ehehehehehe...
Setuju ga sama pendapat gue?
Lumayan lho bisa dikenal orang, kan link kita di share atau di retweet sama @dotsemarang, promosi gratis.
Hare gene ga mikirin eksistensi? Ciyus? Miapah ga mikirin eksistensi?
Hahahaha..

Last but not the least, let's do the best for this competition.
Not for the price, the pride or kind of that, its's all about friendship and brotherhood among the netters.

Hasta lavista..

Rossy Harta @erda_earl



Acara yang Absurd

Pagi ini, secara tidak sengaja, gue nyetel sebuah acara di tv yang
absurd banget.
Sebenernya sih acaranya baik baik saja, isinya juga ok, secara ini
acara siraman rohani gitu loh.
Lantas apa yang membuat gue berpikir kalo acaranya absurd?

Well, gue ga habis pikir sama penceramahnya..
Si penceramah kalo menurut gue, layak dapat piala citra sebagai aktor terbaik.

Kok bisa??

Di awal segment, acaranya diisi sama ceramah.
Nah, di sini si penceramah (nominator piala citra kali ya) mulai
membeberkan materi dengan suara lantang, hampir teriak, ceria, girang,
macam bocah menang lomba 17an gitu.
Semua nampak baik baik saja, aman terkendali.
Dengan sapaan hal si penceramah pada "jamaahnya" itu, semua masih aman
terkendali, belum ada kekacauan.

Tapi, semua berubah ketika negara api menyerang..

Eh, ok ok, gue lost focus..
Ulang ya..

Tapi, semua berubah ketika masuk ke segment berikutnya, yaitu doa bersama..
Anjrit, gila banget cuy, yang semula kayak om om senang gitu, tiba
tiba berubah baca doa sambil mewek mewek kayak banci ketangkep
satpolPP.
Seriusan..
Mewek abis..

Inilah kenapa gue bilang di awal kalo si penceramah layak dapat piala citra.
Aktingnya sedep banget.
Akting ceria heboh gila di awal, mewek cengeng dan lebay di akhir..

Itu guys, itu yang bikin gue mikir kalo acara ini absurd..

Gue di sini ga bermaksud menjelek jelekkan suatu acara, kaum maupun individu.
Gue membeberkan fakta, gue memberi opini dan gue berusaha berpikir cerdas.

Gue rasa cara berdoa mewek macam itu merupakan suatu kesalahan.
Kesalahan, ya kesalahan, banyak acara serupa yang di akhir segment
diisi dengan doa bersama, dan doanya pake mewek mewek ga jelas gitu.
Semacam jadi trademark deh..
Trademark pembodohan kalo kata gue.

Dengan merebaknya metode doa mewek seperti itu, publik jadi berasumsi
"oh, kalo berdoa itu musti mewek seperti si A atau si B atau si C".
Nah, salah kan jadinya..

So, bagi para penceramah, lebih bijaklah dalam menyampaikan sesuatu.
Anda ditonton dan menjadi panutan banyak orang.
Jika anda salah memaparkan ilmu, dan audience anda salah
mengaplikasikannya, jelas, itu merupakan ladang dosa bagi anda..

Sekali lagi, jangan bodoh ya..
Please, sudah banyak orang yang tersesat, jangan membuat suatu kesesatan lagi..

*satu lagi, gue penasaran, itu siraman rohani atau sinetron ya??*

Rumput Tetangga

Ada orang bilang, rumput tetangga memang tampak lebih hijau..
Nampak lebih hijau, nampak lebih menyenangkan untuk disirami..

Sering kali kita menganalogikan "quote" tersebut pada persoalan cinta
atau hubungan.

Memang sangat relevan, dengan asumsi, banyak pasangan yang berpaling
atau mencari "rumput" lain yang lebih hijau ketimbang rumputnya
sendiri.

Padahal, kalau dirunut lagi, hal yang terjadi adalah: kita "kurang
melihat sisi hijau" dari pasangan kita.

Begini ilustrasinya:

A punya pasangan B, C punya pasangan D.
A lihat si D begitu menarik, melebihi si B.
C lihat si B begitu menarik, melebihi si D.
A berpaling ke D, C berpaling ke B.
M punya pasangan N.
A dan C melihat N begitu menarik, melebibi B maupun D.
A dan C berusaha mendapatkan N.
Padahal, di sisi lain, M beranggapan kalau B dan D itu lebih menarik daripada N.

Nah, permasalahn jadi makin rumit bukan..

Semua itu terjadi karena kita telah mengalami penurunan rasa
"memiliki" pasangan kita.
Dalam artian, rasa syukur kita terhadap pasangan telah berkurang,
bahkan hilang, yang ada kini rasa untuk mendapatkan pasangan yang
lebih baik.
Jika itu yang terjadi, rumput tetangga selalu lebih hijau, dan itu mutlak.

Ambisi, bisa dibilang ambisilah yang berperan aktif dalam diri kita
ketika memutuskan untuk berpaling.

Kenapa ambisi?
Mari kita telaah kata kata berikut..
"Lebih mudah untuk mendapatkan sesuatu daripada mempertahankannya"

Lebih mudah mendapatkan pasangan baru daripada mempertahankan pasangan
yang sudah ada..
(Hal ini tidak berlaku bagi para Jomblo akut yang sudah sendiri selama
bertahun tahun)

Manusia tak pernah puas dalam memenuhi nafsunya.
Sudah dapat si B, masih aja ngejar si D, lantas ketika bertemu dengan
N, naluri memburu kembali membara.
Ironis ya..
Tapi begitulah manusia.

Oh ya, naluri pemburu itu tidak hanya tertanam di DNA laki laki,
perempuan pun memiliki hal yang sama, dengan besar yang sama pula.
Hanya saja, belakangan, naluri laki laki yang gemar memburu yang
terekspose, perempuan pandai menyembunyikan nalurinya.
Menyembunyikan, bukan menahan atau menghilangkan.
Mereka tetap berburu, hanya saja lebih tertutup, lebih rapi dan bahkan
lebih mematikan dalam mengejar mangsanya, dalam hal ini rumput
tetangga.

Lantas, bagaimana cara supaya kita tidak gegabah merumput di lahan
tetangga yang nampak lebih hijau?
Mudah saja sepertinya, sering seringlah sirami rumput di halaman kita
sendiri, dengan begitu, kita hanya sedikit waktu membandingkan rumput
kita dengan rumput tetangga.
Bersyukurlah setiap saat, kita telah memiliki halaman yang ditumbuhi
rumput, banyak orang di luar sana yang tak memiliki rumput, bahkan tak
berani untuk membuat halaman di mana rumput itu akan tumbuh..

Newer Posts Older Posts